Mengikuti Katekisasi
Pada saat itu Lombe’ belum dibaptis, tetapi semangatnya memberitakan Injil kepada orang Simbuang sangat besar. Untuk memperdalam pemahamannya tentang Injil, Lombe’ mengikuti katekisasi di Sangalla’. Pilihan ini tidaklah mudah. Ia harus bolak-balik dari Simbuang ke Sangalla’ untuk mengikuti katekisasi tersebut. Ia harus berjalan melalui medan yang sangat berat dan berliku. Jalur Simbuang – Buakayu – Salukuse – Gandangbatu – Mebali – Sangalla’ yang berbahaya tetap ditempuh. Pelajaran katekisasi ini diperoleh secara langsung dari pendeta-pendeta antara lain Pendeta Ziljstra. Setiap pokok pelajaran yang dipelajari di Sangalla’ dijadikan bahan untuk mengajar orang-orang yang baru masuk Kristen di Simbuang. Ia menjadi murid katekisasi di Sangalla’, tetapi sekaligus menjadi pengajar katekisasi di Simbuang.
Hasilnya, pada tahun 1920 bertambah 8 Kepala Keluarga lagi yang masuk Kristen. Mereka adalah Mamang, Atta’, Kanino, Samba, Lakke, Sappa’, Akka’, dan Tanggo. Tahun 1921 mengaku lagi 6 Kepala Keluarga yaitu Andi’, Kalo’, Tangronno’, Lokong, Reko, dan Amba. Tahun 1922 mengaku lagi 9 Kepala Keluarga yaitu Tarru’, Lolang, Pakka’, Bonggasenga, Kemba’, Samoling, Malla, Saleppang, dan Sulle. Selanjutnya pada tahun 1923 mengaku lagi 8 orang Kepala Keluarga yaitu Solon, Tammu, Rombe, Bullung, Tappi’, Tindak, Allu’ dan Pangngae.
Baptisan Pertama
Guru Tawaluyan telah dimutasi dari Simbuang pada tahun 1919. Ia digantikan oleh guru Gaspar dari Manado. Bersama Guru Gaspar, Lombe’ terus memberitakan Injil kepada orang Simbuang serta memberi pelajaran katekisasi kepada orang-orang yang sudah mengaku masuk Kristen. Pada bulan Desember 1923 guru Gaspar dipindahkan dari Simbuang dan digantikan oleh guru Siahaya. Guru Siahaya ini yang berinisiatif supaya semua orang yang telah mengaku masuk Kristen di Simbuang segera dibaptis. Hal ini disampaikan kepada Pendeta Zijlstra di Sangalla`. Pada tahun 1924, Pendeta Zijlstra datang ke Simbuang (Sima) untuk melaksanakan Baptisan Kudus. Baptisan dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 1924. Inilah Baptisan Kudus yang pertama di Simbuang. Dilaksanakan di sekolah Zending di Lekke dan diikuti 53 orang. Satu diantaranya adalah Lombe’ sebagai murid yang sekaligus sebagai guru katekisasi. Ia dibaptis bersama-sama dengan orang yang bertobat melalui pemberitaannya.
Lombe’ mengaku masuk Kristen pada tahun 1910. Ia mulai mengikuti pelajaran katekisasi sejak 1913 dan dibaptis pada tahun 1924. Artinya, 11 tahun ia mengikuti katekisasi sambil mengkatekisasi sesamanya orang Simbuang. Lombe’ telah memberitakan Injil dengan caranya yang unik.
Baptisan kedua dilaksanakan pada tahun 1926 terhadap 36 orang Simbuang. Selanjutnya pada 1928 dilakukan baptisan ketiga terhadap 42 orang.
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian akhir)
Membangun Gereja
Demi kesinambungan program pekabaran Injil di Simbuang dan sekitarnya, maka sebelum akhir tahun 1924 Lombe’ membawa seorang putra kelahiran Simbuang ke Sangalla` untuk disekolahkan di sana. Namanya D. Eppang. Setelah tamat sekolah V.O. di Sangalla’, Eppang mengajar sebagai guru sekolah. Ia kemudian melanjutkan sekolah pendeta Gereja Toraja di Barana’ pada tahun 1949. Setelah itu ia dipanggil dan diurapi sebagai Pendeta di Rantebua.
Lombe’ mengajak orang-orang Simbuang yang sudah dibaptis untuk membangun sebuah gedung gereja. Inilah cikal bakal berdirinya Jemaat Sima. Gereja di Jemaat Sima mulai dibangun tahun 1924 dan selesai satu tahun kemudian. Penahbisannya dilakukan tahun 1935.
Memanggil Pendeta
Sebelum penjajahan Jepang, Lombe’ telah berusaha sedemikian rupa agar ada pendeta yang menetap di Simbuang. Tetapi usaha ini barulah terlaksana pada tahun 1943, ketika B. Tulling dipanggil dan diurapi oleh Jemaat Sima. Wilayah pelayanannya meliputi Klasis Simbuang dan Klasis Mappak sekarang ini.
Krisis ekonomi saat Jepang menjajah Indonesia berdampak sampai ke desa-desa. Kehidupan menjadi sangat sulit. Tetapi keinginan luhur untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat, Lombe’ dan orang Kristen Simbuang merintis kemandirian jemaat dalam hal memanggil pendeta. Dengan demikian, sebelum Sinode I Gereja Toraja, Jemaat Sima telah menjadi contoh yang baik dalam mewujudkan kemandirian jemaat di tengah krisis. Inilah untuk pertama kalinya dalam Gereja Toraja, pemanggilan dan pengurapan Pendeta dilakukan atas panggilan Jemaat. Pada saat itu pendeta-pendeta yang bertugas masih dikenal sebagai pendeta Zending.
Komitmen Mendukung Pendeta
Lombe’ adalah contoh penatua yang sungguh mendukung pelayanan pendeta. Ia menjadi penatua sejak tahun 1924 (sesudah dibaptis) sampai awal tahun 1960-an. Ia sangat menekankan keberadaan seorang Pendeta dalam Jemaat.
Pernah terjadi bahwa Jemaat Sima mengalami kekosongan pelayan Pendeta, ketika Pdt. D. Amba dipindahkan ke Ulusalu Rembon. Kekosongan terjadi dari Januari sampai Mei 1979. Pada saat itu Majelis Gereja dan sebagian anggota jemaat berpendapat bahwa ada baiknya Jemaat Sima belum memanggil pendeta lagi agar jemaat berfokus untuk mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan sebagai jaminan pendeta. Apabila dana sudah cukup banyak, barulah memanggil pendeta, supaya jaminannya tidak tersendat-sendat.
Lombe’ tampil menentang ide ini. Ia mengumpulkan Majelis Gereja Jemaat Sima ke rumahnya. Lombe’ menyampaikan nasihatnya dengan tegas bahwa pemanggilan seorang pendeta dalam suatu jemaat sangat penting. Menurut Lombe’, jemaat tanpa pendeta bagaikan anak yatim piatu. Ia sangat tegas menentang jemaat yang ingin menunda pemanggilan pendeta. ”Kalian bertegas untuk tidak memanggil pendeta, maka siapkah diantara kalian berani untuk melayani tugas pelayanan pendeta ?”. Tidak ada satupun majelis gereja yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Keesokan harinya, surat dari Jemaat Sima dikirim untuk memanggil pendeta yang baru. Tidak lama kemudian Pdt. Jhon Matalangi’ diutus untuk melayani di Jemaat Sima.
Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)
Catatan : kisah ini disadur dari surat Majelis Gereja Jemaat Sima sebagaimana dibuat dalam Bulletin Gereja Toraja Edisi 7/8 Tahun XVI, Juli-Agustus 1986 dan Panduan Pelaksanaan Perayaan 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang. Perbedaan data dalam kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan studi dan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap.