• Beranda
  • Berita
  • Artikel
  • Profil
  • Dokumen
Trending now
  • Minggu, 15 Juni 2025

Artikel Terbaru

Redaksi 2

Cahaya dalam Gelap

Redaksi 2

SANG PENDETA

Redaksi 2

LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian akhi...

Redaksi 2

LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)

Redaksi 2

LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 2)

Filter Kategori

Semua Artikel

Senin, 03 Februari 2025
Cahaya dalam Gelap

Di balik kelam yang tak bertepi,

Ia melangkah tanpa ragu, tanpa henti. 

Mata tertutup, tapi hati terbuka, 

Melihat dunia lewat rasa yang nyata. 

 

Tangannya membaca bisik daun, 

Kakinya mendengar cerita jalanan. 

Setiap langkah adalah doa, 

Setiap napas adalah asa. 

 

Gelap bukan penjara bagi mimpinya, 

Hanya kanvas untuk ia lukis cahaya. 

Dengan suara, ia mendengar irama, 

Dengan sentuhan, ia meraba semesta. 

 

"Akulah pembawa terang dalam diriku," 

Bisiknya pada malam yang bisu. 

Langit tak perlu bintang yang ramai, 

Cukup satu tekad yang tak akan padam. 

 

Meski dunia tak selalu berpihak, 

Ia berdiri, tak pernah goyah. 

Mengubah batas jadi peluang, 

Mengubah mimpi jadi kenyataan gemilang. 

Kini ia berdiri di puncak harapan, 

Menyapa dunia dengan keberanian. 

Tunjukkan pada mereka yang melihat, 

Bahwa gelap tak pernah jadi akhir cerita. 

 

***

Makassar, 19 Januari 2025. Karya : Ester Gustin Lumalan (seorang disabilitas mahasiswi STFT Intim Makassar) 

Selasa, 11 Maret 2025
SANG PENDETA

Kalau ia muda, dianggap kurang pengalaman

Tapi bila rambutnya beruban, ia dianggap terlalu tua

Kalau keluarganya besar, ia adalah beban jemaat

tetapi tidak mempunyai anak, doanya tidak manjur

 

Kalau isteri/suaminya aktif, dituduh mau menonjolkan diri

Kalau tidak aktif, dianggap tidak mendukung pelayanan suami/istri

kalau khotbahnya membaca, sangat membosankan

kalau luar kepala, tandanya tidak mempersiapkan diri

 

Kalau berusaha melakukan pembaharuan, dituduh sewenang-wenang

Kalau hanya melanjutkan apa yang ada, ia dianggap tidak kreatif

Kalau khotbahnya banyak ilustrasi, dituduh kurang alkitabiah

Kalau mendalam, dianggap terlalu kaku

 

Kalau khotbahnya panjang, membuat orang mengantuk

Kalau khotbahnya pendek, ia pendeta pemalas

Kalau gagal menyenangkan hati seseorang, artinya ia menyakiti hati jemaatnya

Kalau berusaha menyenangkan hati semua orang, dituduh penjilat.

 

Kalau terus terang dalam kebenaran, ia dianggap sengaja menyinggung perasaan

Kalau tidak berterus terang, dianggap pengecut dan penakut.

Ia mesti bijak seperti burung hantu,

gagah berani laksana burung rajawali

 

Rendah hati seperti burung merpati

Bersedia makan apa saja seperti burung kenari

Ia dituntut mesti menjadi:

seorang ekonom hebat, 

seorang politikus handal, 

seorang pencari dana untuk pelayanan, 

seorang penasihat perkawinan

bapak/ibu yang berwibawa,

sopir taksi yang ramah,

orator yang ulung dan gembala yang arif.

 

Ia mesti melawat semua orang sakit, semua orang kawin dan semua orang mati

Ia mesti bisa bergaul dengan anak-anak, remaja, pemuda sampai orang tua

Ia mesti pandai bicara dan menulis

Ia mestilah ..... haruslah ...... inilah ..... itulah .....

 

***

(Dikutip dari Buku Panduan Konsultasi Pendeta Gereja Toraja, 7-11 Agustus 1995, sebagaimana diterjemahkan dari puisi yang berjudul ”Poem of the Shadow”, yang dimuat dalam buku Spiritualitas Nomor 7, diterbitkan oleh LAI dalam kerja sama dengan Pengurus Pusat BKS-PGI-GMKI, tahun 1994).

Jumat, 07 Maret 2025
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian akhir)

Membangun Gereja

Demi kesinambungan program pekabaran Injil di Simbuang dan sekitarnya, maka sebelum akhir tahun 1924 Lombe’ membawa seorang putra kelahiran Simbuang ke Sangalla` untuk disekolahkan di sana. Namanya D. Eppang. Setelah tamat sekolah V.O. di Sangalla’, Eppang mengajar sebagai guru sekolah. Ia kemudian melanjutkan sekolah pendeta Gereja Toraja di Barana’ pada tahun 1949. Setelah itu ia dipanggil dan diurapi sebagai Pendeta di Rantebua.

Lombe’ mengajak orang-orang Simbuang yang sudah dibaptis untuk membangun sebuah gedung gereja. Inilah cikal bakal berdirinya Jemaat Sima. Gereja di Jemaat Sima mulai dibangun tahun 1924 dan selesai satu tahun kemudian. Penahbisannya dilakukan tahun 1935.

 

Memanggil Pendeta

Sebelum penjajahan Jepang, Lombe’ telah berusaha sedemikian rupa agar ada pendeta yang menetap di Simbuang. Tetapi usaha ini barulah terlaksana pada tahun 1943, ketika B. Tulling dipanggil dan diurapi oleh Jemaat Sima. Wilayah pelayanannya meliputi Klasis Simbuang dan Klasis Mappak sekarang ini.

Krisis ekonomi saat Jepang menjajah Indonesia berdampak sampai ke desa-desa. Kehidupan menjadi sangat sulit. Tetapi keinginan luhur untuk memperkuat pertumbuhan iman jemaat, Lombe’ dan orang Kristen Simbuang merintis kemandirian jemaat dalam hal memanggil pendeta. Dengan demikian, sebelum Sinode I Gereja Toraja, Jemaat Sima telah menjadi contoh yang baik dalam mewujudkan kemandirian jemaat di tengah krisis. Inilah untuk pertama kalinya dalam Gereja Toraja, pemanggilan dan pengurapan Pendeta dilakukan atas panggilan Jemaat. Pada saat itu pendeta-pendeta yang bertugas masih dikenal sebagai pendeta Zending.

 

Komitmen Mendukung Pendeta

Lombe’ adalah contoh penatua yang sungguh mendukung pelayanan pendeta. Ia menjadi penatua sejak tahun 1924 (sesudah dibaptis) sampai awal tahun 1960-an. Ia sangat menekankan keberadaan seorang Pendeta dalam Jemaat. 

Pernah terjadi bahwa Jemaat Sima mengalami kekosongan pelayan Pendeta, ketika Pdt. D. Amba dipindahkan ke Ulusalu Rembon. Kekosongan terjadi dari Januari sampai Mei 1979. Pada saat itu Majelis Gereja dan sebagian anggota jemaat berpendapat bahwa ada baiknya Jemaat Sima belum memanggil pendeta lagi agar jemaat berfokus untuk mengumpulkan sejumlah dana yang akan digunakan sebagai jaminan pendeta. Apabila dana sudah cukup banyak, barulah memanggil pendeta, supaya jaminannya tidak tersendat-sendat. 

Lombe’ tampil menentang ide ini. Ia mengumpulkan Majelis Gereja Jemaat Sima ke rumahnya. Lombe’ menyampaikan nasihatnya dengan tegas bahwa pemanggilan seorang pendeta dalam suatu jemaat sangat penting. Menurut Lombe’, jemaat tanpa pendeta bagaikan anak yatim piatu. Ia sangat tegas menentang jemaat yang ingin menunda pemanggilan pendeta. ”Kalian bertegas untuk tidak memanggil pendeta, maka siapkah diantara kalian berani untuk melayani tugas pelayanan pendeta ?”. Tidak ada satupun majelis gereja yang berani menjawab pertanyaan tersebut. Keesokan harinya, surat dari Jemaat Sima dikirim untuk memanggil pendeta yang baru. Tidak lama kemudian Pdt. Jhon Matalangi’ diutus untuk melayani di Jemaat Sima. 

 

Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)

Catatan : kisah ini disadur dari surat Majelis Gereja Jemaat Sima sebagaimana dibuat dalam Bulletin Gereja Toraja Edisi 7/8 Tahun XVI, Juli-Agustus 1986 dan Panduan Pelaksanaan Perayaan 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang. Perbedaan data dalam kedua dokumen ini dapat dijadikan bahan studi dan penelitian lebih lanjut, guna memperoleh gambaran yang utuh dan lengkap. 

Rabu, 05 Maret 2025
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 3)

Mengikuti Katekisasi

Pada saat itu Lombe’ belum dibaptis, tetapi semangatnya memberitakan Injil kepada orang Simbuang sangat besar. Untuk memperdalam pemahamannya tentang Injil, Lombe’ mengikuti katekisasi di Sangalla’. Pilihan ini tidaklah mudah. Ia harus bolak-balik dari Simbuang ke Sangalla’ untuk mengikuti katekisasi tersebut. Ia harus berjalan melalui medan yang sangat berat dan berliku. Jalur Simbuang – Buakayu – Salukuse – Gandangbatu – Mebali – Sangalla’ yang berbahaya tetap ditempuh. Pelajaran katekisasi ini diperoleh secara langsung dari pendeta-pendeta antara lain Pendeta Ziljstra. Setiap pokok pelajaran yang dipelajari di Sangalla’ dijadikan bahan untuk mengajar orang-orang yang baru masuk Kristen di Simbuang. Ia menjadi murid katekisasi di Sangalla’, tetapi sekaligus menjadi pengajar katekisasi di Simbuang. 

Hasilnya, pada tahun 1920 bertambah 8 Kepala Keluarga  lagi yang masuk Kristen. Mereka adalah Mamang, Atta’, Kanino, Samba, Lakke, Sappa’, Akka’, dan Tanggo. Tahun 1921 mengaku lagi 6 Kepala Keluarga yaitu Andi’, Kalo’, Tangronno’, Lokong, Reko, dan Amba. Tahun 1922 mengaku lagi 9 Kepala Keluarga yaitu Tarru’, Lolang, Pakka’, Bonggasenga, Kemba’, Samoling, Malla, Saleppang, dan Sulle. Selanjutnya pada tahun 1923 mengaku lagi 8 orang Kepala Keluarga yaitu Solon, Tammu, Rombe, Bullung, Tappi’, Tindak, Allu’ dan Pangngae.

 

Baptisan Pertama

Guru Tawaluyan telah dimutasi dari Simbuang pada tahun 1919. Ia digantikan oleh guru Gaspar dari Manado. Bersama Guru Gaspar, Lombe’ terus memberitakan Injil kepada orang Simbuang serta memberi pelajaran katekisasi kepada orang-orang yang sudah mengaku masuk Kristen. Pada bulan Desember 1923 guru Gaspar  dipindahkan dari Simbuang dan digantikan oleh guru Siahaya. Guru Siahaya ini yang berinisiatif supaya semua orang yang telah mengaku masuk Kristen di Simbuang segera dibaptis. Hal ini disampaikan kepada Pendeta Zijlstra di Sangalla`. Pada tahun 1924, Pendeta Zijlstra datang ke Simbuang (Sima) untuk melaksanakan Baptisan Kudus. Baptisan dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 1924. Inilah Baptisan Kudus yang pertama di Simbuang. Dilaksanakan di sekolah Zending di Lekke dan diikuti 53 orang. Satu diantaranya adalah Lombe’ sebagai murid yang sekaligus sebagai guru katekisasi. Ia dibaptis bersama-sama dengan orang yang bertobat melalui pemberitaannya.

Lombe’ mengaku masuk Kristen pada tahun 1910. Ia mulai mengikuti pelajaran katekisasi sejak 1913 dan dibaptis pada tahun 1924. Artinya, 11 tahun ia mengikuti katekisasi sambil mengkatekisasi sesamanya orang Simbuang. Lombe’ telah memberitakan Injil dengan caranya yang unik.

Baptisan kedua dilaksanakan pada tahun 1926 terhadap 36 orang Simbuang. Selanjutnya pada 1928 dilakukan baptisan ketiga terhadap 42 orang. 

 

Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 2)

Senin, 03 Maret 2025
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 2)

Ancaman Pembunuhan

Pengaruh Lombe` selaku Imam Aluk Todolo dan menguasai tradisi masyarakat Simbuang membuat ia mudah diterima. Pada Nopember 1913, enam kepala keluarga mengaku  masuk Kristen, semuanya berasal dari golongan bangsawan menurut strata sosial masyarakat Simbuang (Ma’dika). Mereka adalah Tea’ (Ambe’ Eppang), Tori’ (Ambe’ Laen), Tullu, Ruru (Ambe’ Masseng), Belayan dan Burambu.

Setelah orang-orang besar itu mengaku masuk Kristen, mulailah muncul niat jahat untuk membunuh Lombe. Anjurannya yang terkenal adalah ”Barangsiapa yang berhasil membunuh  Lombe’ dalam jangka dua minggu ini akan mendapat hadiah dua ekor kerbau sangpala` (limang tepo)”.

Akan tetapi niat jahat ini diketahui Lombe’ melalui seorang  yang langsung mendengar kesepakatan itu. Lombe’ mengadakan giliran ronda. Setiap 24 jam ada empat orang yang terdiri dari keluarga dan sahabat karib Lombe’ melakukuan ronda. Menjelang akhir masa dua, penjagaan diperketat. Sekitar pukul 23.00 datanglah tiga orang mendekati rumah berniat membunuh Lombe’, salah satunya bernama Arra`.

Lombe’ mengintip dari atas rumah dan menegur mereka dengan menyebutkan kata-kata: ”E... sangmaneku Arra` dau bo’yoi’ kalemu lakadake lako kaleku. Maela` pi  na mane nalambi` lampakku. Membea’pi  alukNA  Tomemata solo’ To urrande pala’ ma’rupa tau kumane mate. Ma’tingpi uai mantirri’ ma’tanpi kalomba’ nabawa angin, madinginpi bu’tuna kulla’ namanena’ mate”. Ketiga orang tadi pulang dan hanya mengucapkan satu kalimat: ”Todisuakan kami”. 

 

Baca juga LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 1)

Sabtu, 01 Maret 2025
LOMBE’: SANG MISIONARIS DARI SIMBUANG (bagian 1)

Dari Keluarga Imam Aluk Todolo

Bila mendengar kata misionaris, kita akan langsung mengingat tokoh-tokoh misionaris Zending dari luar negeri. Kitapun dengan mudah bisa menyebur sejumlah penginjil terkenal dalam sejarah masuknya Injil ke Toraja. Tetapi dari pelosok Simbuang, bagian barat Toraja, tidak salah untuk menyebut seorang misionaris tulen, asli orang Simbuang. Dia adalah Lombe’.

Lombe’ lahir tahun 1880 di Buttu Manik, Sima, Simbuang. Dokumen Panitia 100 Tahun Baptisan Pertama di Simbuang menulis tanggal lahir Lombe’ pada 10 Mei 1892. Ia meninggal dunia pada 3 Oktober 1985 di Sadipe, pada usia 105 tahun. Ayahnya bernama Sandalinggi` dan ibunya bernama Dodo. Lombe dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga Iman Aluk Todolo, sebab itu sejak kecil ia dididik dan dipersiapkan sebagai Imam (To Minaa/To ma’kada).

Saat Lombe’ masih kecil, ayahnya meninggal dunia. Sementara Ibunya dirampas dan dibawa oleh komplotan yang datang menyerang Simbuang. Namun Lombe diselamatkan ke Sangruak (Pinrang) dan di sana ia terus dikader sebagai kader Imam Aluk Todolo. Pada masa mudanya, ia telah menguasai Aluk Todolo di seluruh Toraja bagian Barat bersama dengan tradisi lama masyarakat sekitarnya.

 

Bertemu Ambo’ Milla’

Sekitar tahun 1900 Lombe’ menjadi anak didik Ambo’ Milla’, seorang muslim yang terkenal dari tanah Bugis. Nama lainnya Maela’ dan bekerja sebagai juru bahasa tentara Belanda. Dari Ambo’ Milla’, Lombe mengenal aksara Bugis/Lontara’. Konon ini satu-satunya aksara yang diketahui Lombe’. Sementara aksara latin atau aksara lainnya buta sama sekali. Ambo’ Milla’ kemudian pindah ke Mamasa. Di sana ia mendengar Injil melalui orang Belanda. Saat itu Belanda sedang berusaha menduduki daerah. Pada akhirnya Ambo’ Milla’ menjadi pengikut Kristus.

Sekitar tahun 1910 Ambo’ Milla’ berkunjung lagi ke Simbuang. Kali ini berperan sebagai juru bahasa orang Belanda. Tak lupa ia bercerita tentang Injil Yesus Kristus kepada Lombe’. Singkat cerita, Lombe’ memutuskan untuk masuk Kristen. 

Setelah Ambo’ Milla’ kembali ke Mamasa, Lombe’ menjadi seorang diri sebagai orang Kristen di Simbuang. Untunglah pada tahun 1913 Gereja Belanda membuka sekolah Zending di simbuang. Sebangai guru pertama ialah Tawaluyan dari Maluku. Demikianlah, kini terdapat dua orang Kristen di Simbuang, yaitu Lombe’ dan Tawulayan. (Naskah lain menyebut Supit dari Manado sebagai guru pertama.)

Selama tiga bulan Tawulayan dengan Lombe’ beribadah pada hari minggu di rumah Lombe’. Di luar hari minggu setelah Lombe’ dan Tawulayan mendekati masyara untuk membicarakan tentang pentingnya pendidikan, yang disalamnya tersirat berita Injil. (bersambung)

Minggu, 09 Maret 2025
Iman di Tengah Perang: Pergulatan Komunitas Kristen di Rusi...

Perang antara Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan telah membawa dampak yang luas, tidak hanya dalam ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam kehidupan spiritual dan emosional komunitas Kristen di kedua negara. Sebagai dua negara dengan tradisi Kekristenan Ortodoks yang kuat, perang ini telah menguji iman, persatuan, dan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

Dilema Kesetiaan dan Iman

Bagi banyak umat Kristen, terutama mereka yang berafiliasi dengan Gereja Ortodoks, perang ini menimbulkan dilema yang mendalam. Di Rusia, Gereja Ortodoks Rusia (ROC) memiliki hubungan erat dengan negara dan sering kali mendukung kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan militer. Patriark Kirill, pemimpin ROC, secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap tindakan Rusia, dengan alasan bahwa perang ini memiliki makna spiritual dan geopolitik bagi Rusia. Pandangan ini menuai kontroversi, baik di dalam maupun di luar Rusia, karena dianggap mencampuradukkan agama dengan politik secara berlebihan.

Sementara itu, tidak semua umat Kristen di Rusia menyetujui posisi gereja mereka. Sejumlah rohaniwan dan jemaat secara pribadi menolak perang ini, tetapi mereka menghadapi dilema besar. Mengkritik pemerintah dapat berujung pada represi, termasuk ancaman penjara atau pembubaran gereja mereka. Beberapa pendeta yang secara terbuka menyerukan perdamaian telah ditangkap atau dipaksa mengungsi ke luar negeri. Dalam situasi ini, banyak jemaat terpecah antara kesetiaan terhadap gereja mereka dan suara hati yang menolak kekerasan.

Sebaliknya, di Ukraina, komunitas Kristen merasakan dampak perang ini secara lebih langsung. Banyak gereja yang dihancurkan akibat serangan, dan umat Kristen menghadapi penderitaan yang luar biasa. Gereja Ortodoks Ukraina (OCU), yang mendapatkan pengakuan otonomi dari Patriarkat Ekumenis Konstantinopel pada 2019, semakin menjauh dari pengaruh Gereja Ortodoks Rusia. OCU bersama dengan gereja-gereja lain di Ukraina, termasuk Gereja Katolik Yunani Ukraina dan berbagai komunitas Protestan, memainkan peran penting dalam memberikan dukungan spiritual dan bantuan kemanusiaan kepada para korban perang.

Namun, perpecahan ini tidak hanya terjadi di tingkat institusional, tetapi juga dalam kehidupan pribadi banyak orang. Sebelum perang, hubungan antara umat Kristen di Rusia dan Ukraina masih cukup erat, terutama karena banyak keluarga memiliki anggota di kedua negara. Namun, sejak invasi terjadi, banyak yang merasa dikhianati oleh saudara seiman mereka di Rusia yang diam atau bahkan mendukung agresi ini. Di sisi lain, beberapa jemaat di Rusia juga merasa terpukul karena kehilangan kontak dengan kerabat mereka di Ukraina akibat perang dan sanksi internasional yang memperburuk hubungan antarwarga.

Penderitaan dan Harapan

Di tengah kehancuran akibat perang, penderitaan yang dialami komunitas Kristen di Rusia dan Ukraina begitu nyata dan menyakitkan. Di Ukraina, gereja-gereja yang dulunya menjadi tempat ibadah kini berubah menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi yang kehilangan rumah mereka. Banyak keluarga terpisah, anak-anak kehilangan orang tua, dan harapan akan kehidupan normal kian pudar. Di medan perang, tentara yang beragama Kristen dari kedua belah pihak menghadapi dilema moral yang besar—bertarung melawan sesama saudara seiman dalam konflik yang dipicu oleh kepentingan politik.

Sementara itu, di Rusia, umat Kristen yang menentang perang menghadapi tekanan besar dari pemerintah dan lingkungan sosial mereka. Para pendeta yang berani menyuarakan perdamaian banyak yang ditangkap atau mendapat pengawasan ketat. Beberapa gereja yang berusaha menyediakan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Ukraina harus menghadapi ancaman pembubaran atau penutupan paksa. Dalam kondisi ini, banyak jemaat merasa terperangkap—antara ingin tetap setia pada ajaran kasih Kristiani, tetapi juga harus berhati-hati agar tidak dianggap sebagai pengkhianat oleh pemerintah mereka sendiri.

Di tengah segala penderitaan ini, secercah harapan tetap ada. Banyak organisasi Kristen dari berbagai negara mengirimkan bantuan kemanusiaan, obat-obatan, dan dukungan moral bagi mereka yang terdampak. Misalnya, World Council of Churches (Dewan Gereja Dunia) dan Caritas International telah menggalang dana serta mengirimkan relawan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Gereja-gereja di negara-negara tetangga seperti Polandia dan Rumania juga membuka pintu bagi pengungsi Ukraina, menawarkan tempat tinggal, makanan, serta dukungan spiritual. Di dalam Rusia sendiri, meskipun dalam kondisi sulit, masih ada komunitas Kristen seperti beberapa kelompok Protestan dan Katolik yang diam-diam bekerja untuk membantu mereka yang membutuhkan, membuktikan bahwa kasih dan solidaritas tidak dapat sepenuhnya dihancurkan oleh perang.

Panggilan bagi Umat Kristen Global

Perang ini mengingatkan kita bahwa iman tidak boleh digunakan sebagai alat politik, melainkan sebagai kekuatan untuk mendamaikan dan membangun kembali. Komunitas Kristen global memiliki tanggung jawab moral untuk berdiri di sisi keadilan dan kemanusiaan. Doa, dukungan kemanusiaan, dan upaya untuk mempromosikan dialog harus terus dilakukan agar perdamaian dapat terwujud.

Pada akhirnya, bagi banyak orang Kristen di Rusia dan Ukraina, perang ini adalah ujian terbesar bagi iman mereka. Di tengah kepedihan dan ketidakpastian, hanya kasih dan pengampunan yang dapat membawa pemulihan sejati.

Salam Pembebasan. [Unu’ (Pimred Tutungan Bia’)] 

 

Lahir di awal tahun 1968 dengan nama Bulletin Gereja Toraja.

Pengunjung :

  • Hari Ini: 4

  • Minggu Ini: 126

  • Bulan Ini: 359

  • Tahun Ini: 3.7rb

  • Total Kunjungan: 3.7rb

Social Media

Copyright Tutungan Bia' © All rights reserved | This is made by Denson Patibang

  • Terms of use
  • Privacy Policy
  • Contact